Pengantar Etika dan Profesionalisme
Teknologi Sistem Informasi
(Minggu Ketujuh : Peraturan dan
Regulasi)
“Studi
Kasus - UU No. 36 tentang Telekomunikasi : Azas dan Tujuan Telekomunikasi,
Penyelenggaraan Telekomunikasi, Penyidikan, Sangsi Administrasi dan Ketentuan
Pidana”
Ega Pramesti. 12110260.
Rahmi Imanda. 15110587.
Jurusan Sistem Informasi, Fakultas
Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi
Universitas Gunadarma
2014
Lahirnya
Undang-Undang (UU) No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi sebagai
pengganti UU No. 3 Tahun 1989 bukannya tanpa alasan. Mencuatnya
pandangan bahwa regulasi yang ada saat itu dinilai
sudah tidak memadai lagi merupakan titik awal
dilakukannya peninjauan kembali terhadap UU No. 3 Tahun 1989, dimana
salah satu hasil utamanya adalah dihapuskannya sistem
penyelenggaraan telekomunikasi yang bersifat monopolistik. Namun
lahirnya UU No. 36 Tahun 1999 pun tidak
membuat masalah di sektor telekomunikasi
berhenti. Saat ini terdapat banyak indikasi akan perlunya UU tersebut
untuk direvisi. Perbandingan yang dapat diketahui secara ringkas terkait
kedua UU tentang telekomunikasi tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai
berikut :
Sumber
: UU Telekomunikasi No.3 Tahun 1989 dan UU No.36 Tahun 1999
Laporan ini berusaha menginventarisasi faktor-faktor yang mendorong lahirnya UU No. 36 Tahun 1999, membuat analisa kebijakan pada UU No. 36 Tahun 1999 terkait dengan model bisnis baru serta memberikan saran yang relevan terkait dengan perubahan tersebut. Permasalahan yang Ingin Dijawab Laporan Akhir ini mencoba menjawab beberapa permasalahan mengenai perubahan UU Telekomunikasi, yaitu:
1.
Mencari
fakta pemicu lahirnya UU No. 36 Tahun 1999.
2. Melakukan
analisis untuk menilai keterbatasan UU No. 36 Tahun 1999 saat ini sesuai dengan tema ICT Outlook 2012.
3.
Menyusun
kesimpulan dan saran yang dapat diterapkan
Dasar Teori
Laporan
ini menggunakan model analisis kebijakan Weimer-Vining dengan kerangka berikut.
Model Analisis Kebijakan Weimer-Vining
Analisa
Pemicu
Lahirnya UU No. 36 Tahun 1999
Menurut
beberapa sumber, faktor yang memicu lahirnya UU No. Tahun 1999 adalah:
1.
Perubahan
teknologi.
2.
Krisis
Ekonomi, Sosial dan Politik.
3.
Dominasi
pemerintah dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan proyek Nusantara21.
4.
Perubahan
nilai layanan telekomunikasi dari barang publik menjadi komoditas.
5.
Teledensity
rendah.
6.
Masuknya
modal asing di sektor telekomunikasi.
7.
Keterbatasan
penyelenggara pada era monopoli dalam hal pembangunan infrastruktur.
8. Pergeseran
paradigma perekonomian dunia, dari masyarakat
industri menjadi masyarakat informasi.
9. Praktik
bisnis yang tidak sehat di sektor telekomunikasi.
10. Kurangnya sumber daya manusia di
sektor telekomunikasi.
Keterbatasan UU No. 36 Tahun 1999 saat ini
Untuk mengidentifikasi permasalahan,
Weimer-Vining menawarkan penggunaan pohon keputusan
dengan model berikut:
“Pohon
Keputusan” Analisis UU No. 36 Tahun 1999 Saat Ini.
Dalam
kasus yang menjadi tema utama ICT Outlook 2012, beberapa variable
diperlukan dalam menggunakan model “pohon keputusan”
tersebut antara lain ARPU operator dan revenue
OTT dan teledensitas [1] , perkembangan teknologi [2] serta
regulasi. Ketiga variabel tersebut apabila diimplementasikan ke
dalam “pohon keputusan” akan menghasilkan skema berikut
Hasil
dari penggunaan “pohon keputusan” diketahui bahwa terjadi market
failure dan goverment failure di mana saran yang sesuai
adalah menemukan kebijakan yang unggul dan membandingkan cost dari implementasi
kebijakan tersebut terhadap market failure. Indikasi dari market failure
terlihat dari ARPU operator yang kian menurun. Hal
ini berbanding terbalik dengan peningkatan teledensitas
dan revenue bisnis OTT yang terus terjadi. Sementara itu,
pemerintah juga turut serta memberikan warna terhadap fenomena
market failure. Government failure yang terjadi disebabkan oleh kegagalan
pemerintah dalam mengantisipasi perkembangan teknologi.
Perkembangan
teknologi, seperti teknologi IMS, dapat merubah model bisnis
telekomunikasi secara keseluruhan. Sebagai contoh,
sebuah pelang gan dapat membeli atau menyewa
infrastruktur dari sebuah penyelenggara dan
berlangganan sebuah atau beberapa layanan kepada
penyelenggara lainnya. Hal ini tentunya dapat menyebabkan model bisnis
yang tadinya berupa intergrasi vertikal, dimana penyelenggara
menguasai bisnis dari hulu ke hilir, berubah menjadi integrasi
horisontal untuk mereduksi CAPEX dan TCO
serta mengoptimalisasi OPEX sehing ga penyeleng gara dapat
bersaing dalam sistem kompetisi penuh.
Selain disebabkan oleh market failure, kegagalan regulasi dalam
mengadopsi perubahan model bisnis juga menjadi sebab
utama dalam perma salahan ini. UU No.
36 Tahun 1999 ga gal mendefinisikan dengan jelas
batasan dan jenis jasa telekomunikasi sehingga banyak bisnis OTT yang menjamur
dengan menumpang “secara gratis” kepada pelenggara jaringan telekomunikasi.
Kesimpulan
Dalam laporan awal ini disampaikan sebuah kesimpulan, yaitu terjadi perulangan fenomena antara yang terjadi di jaman UU No. 3 Tahun 1989 dan UU No. 36 Tahun 1999 yaitu ketidakmampuan regulasi dalam mengadopsi perkembangan teknologi dan pergeseran model bisnis telekomunikasi.
Saran
Dalam laporan awal ini disampaikan beberapa saran, yaitu:
Dalam laporan awal ini disampaikan beberapa saran, yaitu:
1. Diperlukannya sebuah
regulasi baru yang dapat mengadopsi model bisnis
baru di sektor telekomunikasi yang memisahkan antara layer
layanan dan infrastruktur sehingga sebuah penyelenggara dapat
mereduksi TCO serta bersaing dan bersimbiosis
mutualisme dengan jenis penyelenggara layanan baru.
2. Diperlukannya sebuah model
interaksi dalam regulasi untuk mengatur mekanisme
interaksi antar penyelenggara telekomunikasi, baik itu penyelenggara
layanan maupun infrastruktur. Sehingga terdapat mekanisme bisnis yang
sehat antar penyelenggara telekomunikasi.
Sumber :
No comments:
Post a Comment